
Sumber : unsplash.com
Asal Muasal Asas Legalitas
Asal muasal asas legalitas dimulai saat Revolusi Perancis, ketika itu rakyat bergejolak menuntut keadilan atas kesewenang-wenangan penguasa. Puncak reaksi terhadap kekuasaan yang mutlak (absolutisme) itu adalah timbul pemikiran tentang harus ditentukannya dalam undang-undang terlebih dahulu perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, agar rakyat lebih dahulu dapat mengetahui dan tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Apabila memilih untuk melakukan kejahatan maka sanksi pidana sudah pasti harus dapat diterimanya sebagai konsekuensi perbuatannya. Dalam fase selanjutnya asas ini berlaku di beberapa Negara. atau seiring dengan sejarah penjajahan negara adikuasa terhadap negara jajahannya. (Andi Sofyan dan Nur Aziza, 2016:18)
Salah satu penyebab dari revolusi Perancis adalah adanya hasrat masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum. Rakyat tertindas menghendaki adanya kepastian hukum. Tahun 1789 asas Nullum Delictum sudah dicantumkan dalam Konstitusi Perancis. Kemudian dicantumkan pula dalam Code Penalnya Negeri Belanda, yang pernah mengalami penjajahan Perancis. Kemudian Pada tahun 1915 (mulai berlaku tahun 1918) asas tersebut telah pula dicantumkan dalam KUHP Indonesia yang merupakan jajahan Belanda dan sampai saat ini sejak Indonesia merdeka asas legalitas tetap masih berlaku sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Jo. Undang-Undang No 73 Tahun 1968 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Indonesia dan Perubahan KUHP. Perkembangan selanjutnya KUHP beberapa kali mengalami perubahan yakni :
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1960 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
- Perpu No 16 Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP,
- Perpu 18 Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Denda Dalam Kitab Undang-UndangHukum PidanaDan Dalam Ketentuan-Keten-tuan Pidana Lainnya Yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945
- Undang-UndangNo. 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penamba-han Beberapa Pasal dalam KUHP Terhadap Penerbangan
- Undang-Undang 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Un-dang-Undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Ter-hadap Keamanan Negara.6)Perma No. 2 Tahun 2012 tentangPenyelesaian Batasan Tindak Pida-na Ringan (Tipiring) dan Jumlah Denda Dalam KUHP (Andi Sofyan dan Nur Aziza, 2016:18)
Pertentangan Pemikiran Ahli beraliran Historis dan ahli Positivis terkait asas legalitas
Pemikiran mengenai asas legalitas sebagai hukum pidana materil, berawal dari suatu pemahaman tentang apakah hukum pidana itu sine praevia lega poenale ? (hukum pidana adalah hukum undang-undang ?). Pertanyaan ini sebenarnya merupakan pergumulan yang berat mengenai bagaimana pemahaman hukum itu seharusnya. Pada awal abad ke XIX, pertanyaan ini mulai di bahas antara mazhab sejarah yang di pimpin oleh von Savigny dan aliran postivis dengan tokohnya Thibaut. Menurut pendapat von Savigny, masyarakat itu terus menerus berkembang begitu pula hukum yang tercipta secara seirama mengikuti perkembangan manusia itu dan memberikan pengaturannya di dalam kehidupan. (Hwan Christanto,2009:356)
Oleh karena itu, menurut aliran historis usaha kodifikasi atau perumusan suatu norma di dalam Undang-undang akan membawa efek negatif bagi perlindungan masyarakat yang terus berkembang. Bertentangan dengan pendapat ini, Thibaut menegaskan perlunya kodifikasi di dalam sebuah undang-undang, mengingat hak rakyat yang harus di utamakan. Rakyat harus dapat membaca dan memahami ketentuan hukum yang di tetapkan oleh Penguasa dan menghendaki penghapusan hukum kebiasaan yang tidak menimbulkan kepastian hukum karena terus-menerus berubah. Pertentangan ini terus-menerus berlangsung terutama ketika asas legalitas di undangkan di dalam Code Civil. Aliran historis dengan tegas menolak asas legalitas karena menghambat perkembangan dan pengakuan hukum kebiasaan yang sudah terlebih dahulu hidup di masyarakat. Selain itu argumentasi yang sering di berikan, adalah karena undang-undang itu sendiri telah terbukti tidak dapat mengakomodasi setiap kebutuhan masyarakat apalagi hukum pidana ketika menghadapi modus operandi dari kejahatan yang terus menerus berkembang. Bergstein memberikan pendapatnya mengenai hal ini dengan mengatakan is de wet ongetwijfeld een bij uitstek gezaghebbende bron van recht (tidak dapat di ragukan bahwa undang-undang merupakan sumber hukum) (Hwan Christanto,2009:356)
Bergstein menegaskan bahwa melalui undang-undanglah masyarakat akan melihat tujuan hukum termasuk di dalamnya perbuatan apa yang dilarang dan di ancam dengan sanksi apa. Mengenai keberadaan hukum kebiasaan, Bergstein sama sekali tidak menolak, justru ia menegaskan tugas dari penegak hukum untuk mencari arti dari rumusan kata-kata yang terdapat di dalam Undang-undang itu. Ia menegaskan: “gtegenover de woorden der wet komt hem echter een grote vrijheid toe. Hij is dus niet ‘la bouche de la loi’, tenzij men daarronder verstaat ‘la bouche de l’espirit de la loi” (terhadap kata-kata di dalam undang-undang, penerap undang-undang memiliki suatu kebebasan yang luas. Jadi dia bukanlah “mulut undang-undang” tetapi “mulut jiwa undang-undang”. (Hwan Christanto,2009:356)
Dengan demikian dengan jelas Bergstein memberikan satu hubungan yang saling melengkapi antara hukum yang tercantum di dalam undang-undang itu dengan hukum kebiasaan yang ada. Posisi undang-undang sebagai suatu jaminan mutlak dari apa yang dilarang oleh hukum pidana dan tercela sehingga harus di ancam dengan pidana. Masyarakat wajib tunduk dan melaksanakan hukum yang berlaku itu. Sedangkan posisi hukum kebiasaan seperti di jelaskan oleh Suijing sebagai berikut: “behoort hij de absract geredigeerde wet me de prescripten der volksmoraal aan te vullen en dus altijd de gerechtigheid te oefenen, welke de wet in vereniging met de volksmoraal aan de justitiabelen waarborgt” hakim harus melengkapi undang-undang yang dirumuskan secara abstrak dengan ketentuan-ketentuan dari moral rakyat, dan karena itu selalu menyelenggarakan keadilan, yang adanya dijamin oleh undang-undang bersama dengan moral rakyat untuk melindungi para pencari keadilan). (Hwan Christanto,2009:357)
Terkait dengan asas legalitas sebagiamana di rumuskan di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, Lamintang memberikan satu kritik tajam terhadap penerjemahan pasal 1 ayat 1 KUHP. Kesalahan pertama terdapat pada fokus dari pasal 1 ayat 1 KUHP sendiri yang mengatur tentang strafbaarfeit (perbuatan yang dapat dihukum) pemahamannya selalu terarah pada “perbuatan yang dapat di hukum” seharusnya “orang yang telah melakukan perbuatan tersebut atau pelakunya” yang menjadi fokusnya. Kedua, mengenai penerjemahan istilah wettelijke strafbepaling yang terlalu sering di terjemahkan dengan “peraturan pidana di dalam undang-undang” atau “aturan pidana dalam undang-undang” adalah kurang tepat. Istilah bepaling seharusnya di terjemahkan dengan “ketentuan” sedangkan istilah “wettelijke” lebih menunjuk pada dijvoegelijk naamwoord (suatu kata keterangan keadaan) sehingga terjemahan yang tepat adalah “ketentuan pidana menurut undang-undang” Apabila rumusan terjemahan “ketentuan pidana menurut undang-undang” ini di pergunakan maka semakin luaslah pemahaman asas legalitas yang tidak lagi hanya bertumpu pada undang-undang. (Hwan Christanto,2009:357)
Asas legalitas dalam tradisi Civil Law
Dalam tradisi sistem civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu: Peraturan perundang-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa, dan analogi. Mengenai keempat aspek ini, menurut Roelof H Haveman, though it might be said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the four aspects gives a more true meaning to principle of legality.9 Lex Scripta Dalam tradisi civil law.( Fajrimei A. Gofar ,2005:6)
Aspek pertama adalah penghukuman harus didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Undang-undang harus mengatur mengenai tingkah laku (perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang. Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar penghukuman bukan berarti kebiasaan tersebut tidak mempunyai peran dalam hukum pidana. Ia menjadi penting dalam menafsirkan element of crimes yang terkandung dalam tindak pidana yang dirumuskan oleh undang-undang tersebut. ( Fajrimei A. Gofar ,2005:6)
Aspek kedua yakni Lex Certa yakni rumusan yang jelas dan rinci. pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa atau bestimmtheitsgebot. Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku. Namun demikian, dalam prakteknya tidak selamanya pembuat undang-undang dapat memenuhi persyaratan di atas. Tidak jarang perumusan undang-undang diterjemahkan lebih lanjut oleh kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat apabila norma tersebut secara faktual dipermasalahkan. ( Fajrimei A. Gofar ,2005:7)
Aspek ketiga Asas Non-retroaktif yang menghendaki bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang merumuskan tindak pidana tidak dapat diberlakukan secara surut (retroaktif). Pemberlakuan secara surut merupakan suatu kesewenang-wenangan, yang berarti pelanggaran hak asasi manusia. Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar undang-undang yang berlaku surut. Namun demikian, dalam prakteknya penerapan asas legalitas ini terdapat penyimpangan-penyimpangan. Sebagai contoh, kasus Bom Bali, kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor-Timur, dan kasus Tanjung Priok. Dalam kasus-kasus tersebut, asas legalitas disimpangi dengan memberlakukan asas retroaktif. ( Fajrimei A. Gofar ,2005:8)
Aspek keempat yakni Analogi, Seperti disebutkan di muka, asas legalitas membatasi secara rinci dan cermat tindakan apa saja yang dapat dipidana. Namun demikian, dalam penerapannya, ilmu hukum memberi peluang untuk dilakukan interpretasi terhadap rumusan-rumusan perbuatan yang dilarang tersebut. Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau cara penafsiran, yaitu: penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafsiran historis, penafsiran teleologis atau sosiologis, penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran memperluas, dan penafsiran analogi. Dari sekian banyak metode penafsiran tersebut, penafsiran analogi. telah menimbulkan perdebatan di antara para yuris yang terbagi ke dalam dua kubu, menerima dan menentang penafsiran analogi. ( Fajrimei A. Gofar ,2005:9)
Secara ringkas, penafsiran analogi adalah apabila terhadap suatu perbuatan yang pada saat dilakukannya tidak merupakan tindak pidana, diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama dengan perbuatan tersebut, sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan lainnya. Menurut Prof. Andi Hamzah, ada dua macam analogi, yaitu: gesetz analogi dan recht analogi. Gesetz analogi adalah analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak terdapat dalam ketentuan pidana. Sementara recht analogi adalah analogi terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan hukum pidana. Beberapa alasan yang menyetujui dipakainya analogi, di antaranya adalah karena perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga hukum pidana harus berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu. Sementara yang menentang mengatakan bahwa penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, pembatasan dan penggunaan analogi ini tergantung pada sistem hukum yang dianut suatu negara. ( Fajrimei A. Gofar ,2005:9)
Menurut Jan Remmelink, inti dari penafsiran analogis, singkatnya, bagi pendukung pendekatan ini tidak membatasi pengertian suatu aturan hanya dalam batas-batas polyseem kata-kata. Bila diperlukan, mereka akan siap sedia mengembangkan dan merumuskan aturan baru (hukum baru), tentu tidak dengan sembarang melainkan dalam kerangka pemikiran, rasio ketentuan yang bersangkutan. Dalam perkembangannya, karena trauma pada saat pemerintahan Nazi, timbul keengganan yang besar terhadap penggunaan metode ini di seluruh Eropa dan Belanda. ( Fajrimei A. Gofar ,2005:9)
Referensi
Andi Sofyan dan Nur Aziza, “Buku Ajar Hukum Pidana” Pustaka Pena Press, Makasar, 2016.
Fajrimei A. Gofar ,” Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP”, Elsam, Jakarta, 2005.
Hwian Christianto, “Pembaharuan Makna Asas Legalitas” dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009. Universitas Airlangga.